![Seven Something](http://adithiarangga.files.wordpress.com/2012/08/seven-something1.jpg)
Membahas soal cinta dalam bentuk film,
tampaknya memang tak akan ada habisnya sampai kiamat. Banyak yang bisa
dieksploitasi dari setiap hurufnya, C-I-N-T-A, lima huruf yang
masing-masing hurufnya, jika digali, sanggup mengungkapkan berbagai
macam kisah, dari yang menyenangkan hingga yang berakhir pilu
menyayat-nyayat hati penonton. Jika berbicara soal film ber-genre romansa, Thailand bisa dibilang adalah salah-satu produsen film cinta-cintaan yang paling “ngena ke hati”,
dan juara-nya mereka selalu bisa menaikkan kualitas film cinta tersebut
setingkat lebih tinggi dari tahun ke tahun. Keasyikan mereka untuk
fokus pada genre ini bukan sekedar main-main, mengorbankan genre horor,
sepertinya tak sia-sia (yah lihat saja film horor Thailand sekarang,
makin menurun dan tak lagi seseram dulu). Karena lihat saja negeri gajah
putih tersebut seakan sudah menjadi raja dan ratu prom di dunia film cinta, terutama di Indonesia.
Sukses merebut hati penonton dengan
sebuah ciri khas yang tak akan ditemukan di film sejenis dari negara
lain, “keunyuan” film dari Thailand unik, mereka tahu bagaimana meramu
kisah yang seringan bulu menjadi sajian yang tetap menarik dan sekali
lagi unyu, lengkap dengan deretan pemain yang mendukung status
keunyuan tersebut. Indonesia bukannya tidak bisa membuat film
cinta-cintaan, tapi kebanyakan terpoles “palsu” untuk mengejar obsesi
menjadi film yang hanya ingin membuat penontonnya nangis saja. Padahal
film jenis ini tak saja soal menggelitik sisi cengeng penontonnya, tapi
juga soal chemistry antara penonton dan film yang terikat
selama cerita bergulir. Gimana mau seperti Thailand jika cerita masih
seputar orang yang batuk darah dan kanker otak. Nangis!
“Seven Something”, dengan 3 kisah
tentang cinta-nya, seperti mewakili kisah-kisah yang mungkin pernah
dirasakan penontonnya, kisah klise tapi yah bukankah sebuah cerita cinta
memang kebanyakan begitu-begitu saja, tinggal bagaimana si filmmaker
meraciknya menjadi tak membosankan dan membuat penonton merasa terikat
oleh filmnya, yah sampai akhirnya di pertengahan film ada yang bilang: “cerita film ini gw banget”.
Disutradarai oleh tiga sutradara yang berbeda, “Seven Something”, yang
diproduksi oleh PH terkenal, GTH—yang biasa menelurkan horor-horor bangsat—sekali
lagi mampu membungkus filmnya dengan ciri khas film cinta Thailand,
unyu-unyuan tersebut bisa kembali dirasakan di ketiga ceritanya.
Well, film pertama yang
berjudul “14” tampaknya ingin meledek generasi menunduk (meminjam
istilah dari “Republik Twitter”), mereka yang tunduk pada ke-eksis-an
dan memuja ke-populer-an, “penyakit” yang mewabah diantara ABG, tidak
hanya di Indonesia, Thailand juga tak ada bedanya. Bagi Puan (Jirayu
La-ongmanee) populer di dunia maya dengan bantuan sosial media begitu
sangat penting, seorang cowok geek yang bisa dibilang tak punya
status terkenal di sekolah. Tapi beruntung dia punya kamera dan sangat
beruntung (lagi) memiliki kekasih yang cantik, Milk (Suthatta Udomsilp).
Dari hanya semangkuk es krim sampai kegiatan ber-mesraan pada saat hari
valentine, semua diabadikan dengan foto dan video, kemudian di-upload
ke internet. Apapun yang ia lakukan bersama Milk, semua orang harus
tahu. Milk pun mulai terganggu dengan ulah Puan, apalagi ketika video youtube-nya
yang dianggap Milk tidak pantas dilihat banyak orang, ternyata sudah
dilirik puluhan ribu orang, hubungan mereka pun terancam “terhapus”.
Dari ketiga kisah di “Seven Something”,
segmen “14” yang disutradarai oleh Paween Parijtipanya ini bisa dibilang
yang paling “rame”, karena memang ingin mewakili kehidupan remaja yang
berwarna-warni dengan segala kelabilannya. Paween tahu bagaimana
menghidupkan cerita antara Puan dan Milk untuk terlihat real sebagai
kisah cinta ABG, tidak ada yang dilebih-lebihkan, memang seperti inilah
kisah kasih disekolah, kadang kekanak-kanakan, wajar. Pemilihan
karakternya pun tepat walau pada akhirnya saya tidak merasakan ikatan
sama sekali pada hubungan mereka, ya kecuali tak bisa lupa dengan
kelucuan Suthatta Udomsilp dan annoying-nya Jirayu yang
berperan sebagai Puan, yang tak pernah lepas dari kameranya. “14” pun
kian unyu ketika dibungkus dengan visual cantik, menambah nilai plus
pada film yang juga ramai dengan efek-efek suara yang konyol, makin
terasa unsur komedinya dan masih terasa wajar, walau terkadang memang
agak berlebihan.
Dari “14” yang ababil, kita juga diajak move on ke
segmen “21/28” yang tampaknya akan mewakili kisah cinta orang yang
lebih dewasa. Berbeda dengan apa yang dilakukan Paween, pendekatan
Adisorn Tresirikasem tentu tak lagi memakai pernak-pernik ABG,
konfliknya pun lebih serius daripada sekedar video youtube. Jon (Sunny Suwanmethanont) dan Mam (Cris Horwang) dipertemukan di sebuah film berjudul “Sea You”, cinlok dan hubungan mereka berlanjut ke kehidupan nyata. Tapi memang happy ending itu
hanya ada di film, hubungan mereka kandas, begitu juga karir mereka di
dunia akting, ikutan “jatuh”. 7 tahun berlalu, tiba-tiba Mam datang
menemui Jon yang sekarang sudah banting setir menjadi penyelam di wahana
Sea World. Tujuan awal Mam hanya satu, untuk mengajak Jon kembali ke
dunia akting, bermain lagi di sekuel film yang dulu menyatukan mereka.
Mam yang ingin sekali jadi “aktris terkenal” lagi harus kecewa ketika
Jon menolak, tapi ia tak menyerah, dan takdir pun sudah menyiapkan
rencana untuk mereka berdua.
![Seven Something](http://raditherapy.com/wp/wp-content/uploads/2012/08/Seven-Something.jpg)
Jika segmen awal masih terlihat ceria
dengan warna-warni cinta di sekolah, “21/28” ini bisa dibilang kelam dan
“dalam”, berlumur kisah pedih yang menutupi masa lalu Jon dan Mam. Agar
lebih menarik, Adisorn pun mencoba bermain-main dengan alur, yang ia
buat maju mundur, beberapa bagian sempat membuat bingung tapi begitu
cerita bergulir dari menit ke menitnya, tanpa sadar saya sudah “asyik”
saja sedang mendengarkan Adisorn bercerita. Yah di segmen kedua ini
“Seven Something”, tidak lagi mengajak kita “bermain” seperti segmen
sebelumnya. “21/28” jelas dibuat agar penonton ikut terpancing dalam
konflik Jon dan Mam, lihat saja bagaimana Adisorn begitu jeli memasukkan
berbagai kisah melo-drama haru biru, berusaha menggelitik sisi sensitif
penonton. Sayang usaha Adisorn terlampau berlebihan untuk membuat
penontonnya ikut terbawa emosi, banyak adegan galau yang dipanjang-panjangkan malah justru membosankan. Saya akui, “21/28” cukup jleb
apalagi dengan iringan musiknya yang ditempatkan di bagian yang tepat
untuk mengajak hati penonton ikut meronta-ronta, menyaksikkan perjalanan
cinta Jon dan Mam di masa lalu, dan kemudian menunggu akan dibawa
kemana mereka oleh takdir.
Terakhir, dengan judulnya yang unik,
“42.195”, bagi saya ini adalah segmen paling menarik dari ketiga segmen
di “Seven Something”. Melibatkan percintaan antara dua orang yang
terlampau jauh dari segi usia dan lari maraton, yang di film ini posisi
maraton bukan sekedar penambah “seru” cerita, tapi punya nilai filosofis
tersendiri. Sejauh apa kamu sanggup “berlari” demi cinta. Perjuangan move on karakter
yang dimainkan Suquan Bulakul—yang diceritakan baru saja ditinggal mati
suaminya—nantinya akan digambarkan oleh Jira Malikul dengan berbagai
adegan latihan lari. Setelah ia bertemu pria yang jauh lebih muda
darinya (diperankan oleh Nichkhun Horvejkul), Suquan memutuskan untuk
ikut maraton, dengan maksud untuk move on dan mendapatkan kehidupan yang baru.
Berbeda dengan segmen kedua yang
terkadang begitu memaksa-membosankan dalam urusan memompa emosi, kali
ini Jira cukup bisa menjaga ritme cerita, untuk tidak terlalu
berlama-lama dalam satu adegan tertentu. Alhasil saya masih bisa cukup
nyaman mengikuti ceritanya yang tak terlalu meng-galau layaknya segmen kedua. Agar tidak cepat bosan, Jira pun jeli untuk menambahkan berbagai humor unyu,
terselip diantara momen-momen yang bisa dibilang janggal, ketika kedua
orang ini tak lagi bisa bohong kalau mereka lagi sama-sama jatuh cinta.
Satu-satunya yang mengganggu dari segmen ini hanyalah suara narasi
seorang perempuan yang sialnya selalu mengikuti kemana cerita pergi.
Secara keseluruhan, “Seven Something” adalah film yang menyenangkan
dengan visual ketiga segmen-nya yang sedap dipandang, walaupun tidak
bisa disangkal jika saya benci durasinya yang terlalu lama. Sekali lagi
Thailand mampu buktikan tak perlu batuk-batuk muntah darah untuk membuat
film romansa yang bagus. Asal ingin move on dari plot yang
itu-itu saja, saya yakin Indonesia juga mampu bersaing dengan Thailand,
membuat film-film cinta-cintaan dengan cerita ringan yang masih enak
ditonton, bukannya malah membuat penontonnya pusing kepala.
Langsung aja yuk liat dan download videonya disini → Seven Someting Full (Thai Movie) ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar